13 Desa dan Kelurahan di Konawe Masuk Kemiskinan Ekstrem, Begini Penjelasan Kepala BPS Sultra

waktu baca 6 menit
Foto Ilustrasi

KONAWE – Sebanyak 13 desa dan kelurahan di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra), masuk sebagai kemiskinan ekstrem, yang ditetapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada Kamis 16 Juni 2022 lalu, di beberapa media.

Menteri Muhadjir Effendy menetapkan lima kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) sebagai daerah prioritas percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem tahun 2022-2024, salah satunya adalah konawe.

Adapun Kelima daerah tersebut yakni Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Kolaka Utara (Kolut) Kabupaten Kolaka Timur (Koltim), Kabupaten Konawe Utara (Konut) dan Kabupaten Konawe.

Sedangkan 13 desa dan kelurahan di Konawe yakni Desa Andomesinggo Kecamatan Besulutu, Desa Asaki Kecamatan Lambuya, Desa Wonua Monapa Kecamatan Pondidaha, Desa Lalousu Kecamatan Wonggeduku, Desa Wawohine, Lalonona dan Puasana Kecamatan Amonggedo.

Sementara itu, Sekretaris Daerah (Sekda) Konawe Dr. Ferdinand Sapan, S.P., M.H yang dikutip dari Suarasultra.com mengatakan, data yang disajikan oleh pemerintah pusat melalui Menko PMK sangat bertentangan dengan kondisi Kabupaten Konawe saat ini.

“Iya, sebenarnya data tersebut kalau tidak dipahami substansi pokoknya sepertinya ada yang bertentangan. Kalau kami lebih konsen ke intervensi bagaimana desa yang ada di Konawe menjadi desa berkembang dan maju sehingga lebih jauh menjadi desa yang mandiri,” jelas Ferdy sapaan akrab Sekda Konawe.

Sekretaris Daerah (Sekda) Konawe, Ferdinand Sapan. Foto: Mikey/Sultranews

Oleh karenanya, Pemda Konawe enggan menanggapi terlalu jauh terkait data tersebut. Tetapi bagaimana melakukan langkah konkret dalam mengentaskan kemiskinan di masyarakat.

“Desa tertinggal ini kita dorong menjadi berkembang. Karena masing-masing desa memiliki karakteristik yang berbeda sehingga intervensi juga berbeda,” pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sultra Agnes Widiastuti menjelaskan, angka yang dirilis dari BPS merupakan indikator makro. Indikator makro kata dia, itu hanya merupakan angka presentase dan jumlah. Menurutnya itu tidak bisa mencerminkan berapa perkabupatennya belum bisa disebutkan.

Menurut Agnes, data yang disajikan Menko PMK di media massa bisa jadi berdasarkan data yang mereka miliki yang kemudian diolah kembali, sehingga menetapkan 13 desa dan kelurahan di Kabupaten Konawe itu sebagai kemiskinan ekstrim, dalam rangka melakukan percepatan

“Tahun ini BPS ditugaskan kembali membantu pemerintah untuk melalukan pendataan. Sebenarnya ini bukan tugasnya BPS, melainkan tugas pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten. Kami tugasnya hanya pendataan saja, terutama untuk daerah-daerah yang ada kemiskinan ekstrimnya,” kata Kepala BPS Sultra.

Kepala BPS Sultra Agnes Widiastuti. Foto Ist

Dikatakannya, penetapan lima kabupaten di Sultra sebagai daerah kemiskinan ekstrim oleh Menko PMK merupakan program percepatan pemerintah pusat yang mempunyai target untuk pengentasan kemiskinan ekstrim.

“Jadi memang data kemiskinan ektrim itu yang merilis adalah kementrian. Kemungkinan data itu dimiliki oleh Menko PMK dan bisa jadi dari beberapa kementrian lainnya,” ujarnya.

Menanggapi ketidak sesuaian antara rilis yang dikeluarkan Menko PMK terhadap kondisi Kabupaten Konawe saat ini, Agnes menilai kemiskinan ekstrim adalah kemiskinan struktural yang berarti orang tersebut memang harus sangat dibantu, yang biasanya mereka yang tempat tinggalnya di pedesaan, dan biasanya di sektor-sektor pertanian yang mereka tidak punya lahan dan sebagainya.

“Untuk di Konawe sendiri, tidak semua orang bekerja pada sektor pertambangan. Kemungkinan ada juga yang bekerja di sektor pertanian, perkebunan, perikanan dan sebagainnya. Nah mereka yang di sektor-sektor itulah yang sebagian besar masuk kelompok ekstrim, dan itulah yang akan dituntaskan,” ucapnya.

Ditanya soal indikator kemiskinan ekstrim itu seperti apa, Agnes bilang kalau BPS sendiri tidak bisa menentukan siapa dan di mana. Mereka hanya bisa mengindikasikan bahwa indikatornya adalah, dia berada di garis kemiskinan.

“Kalau garis kemiskinan di Kabupaten Konawe tahun kemarin saya kebetulan tidak hapal. Yang jelasnya di tahun 2019 sejak Covid-19, semua masyarakat di Sultra itu mengalami kenaikan. Tetapi dengan adanya upaya-upaya pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten/kota, dalam menekan angka kemiskinan tersebut, alhamdulillah telah mengalami penurunan di tahun ini,” ungkap Agnes.

Agnes menambahkan, untuk menentukan daerah tersebut masuk dalam kategori kemiskinan ekstrem adalah Menko PMK. BPS dalam hal ini tidak dilibatkan dalam menetukan dasar penetapan desa A dan B apakah masuk sebagai kemiskinan ekstrem atau tidak. Yang jelas kriteria yang lebih tahu itu adalah kementerian.

“Kalau mengenai target desanya, BPS tidak merilis angkanya. Karena kami tidak mengeluarkan nama desanya, tidak mengeluarkan siapa penduduk miskinnya,” tutupnya.

Untuk diketahui sebelumnya, BPS menyebutkan Kabupaten Konawe dari sisi kinerja penurunan angka kemiskinan juga telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dari 15,65 persen di tahun 2017 menjadi 13,03 persen di tahun 2021. Sekaligus menempatkan Kabupaten Konawe sebagai daerah dengan kinerja penurunan angka kemiskinan tercepat se-Provinsi Sulawesi Tenggara dalam 5 tahun terakhir.

Label kemiskinan ekstrem yang disematkan Menko PMK RI ini tentu kontradiktif dengan prestasi yang selama ini diraih Pemerintah Daerah (Pemda) Konawe. Di mana Badan Pusat Statistik juga merilis pertumbuhan ekonomi Konawe tertinggi di Sultra.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), berbagai sensus, survei dan sumber lainnya menyebutkan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Konawe masih bertumbuh positif di masa pandemi Covid-19.

Dari 17 Kabupaten/Kota, Konawe mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi 0,11 persen meski Covid-19 menyerang sendi – sendi perekonomian daerah khusus Sulawesi Tenggara.

Pada tahun 2020, pertumbuhan ekonomi Konawe tertinggi di Sulawesi Tenggara dengan angka pertumbuhan 6,42 persen. Sementara di urutan ke dua ada Buton Tengah dengan angka pertumbuhan ekonomi 3,0 persen. Bahkan ada 10 daerah termasuk provinsi Sulawesi Tenggara pertumbuhan ekonominya mines dengan rata rata 1,39 persen.

Di tahun 2021 pertumbuhan ekonomi Konawe kembali melejit ke angka 6,51 persen. Disusul Konawe Selatan diurutan kedua dengan 4,84 persen dan di urutan ke tiga ada Kolaka Timur dengan angka 4,83 persen.

Sebelumnya di tahun 2017, Kabupaten Konawe hanya menempati posisi 15 dari 17 Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara dengan angka pertumbuhan ekonomi 5,21 persen. Namun daerah yang dinakhodai Kery Saiful Konggoasa ini mampu melejit ke angka dua digit yakni 10,70 persen di tahun 2018. Puncaknya, pertumbuhan ekonomi Konawe di tahun 2019 menyentuh angka 11,84 Persen.

Kemudian, Kabupaten Konawe juga merupakan daerah lumbung beras Sultra. Bukan hanya itu, Kabupaten Konawe juga merupakan peringkat ketujuh nasional terhadap capaian realisasi investasi pada tahun 2021 lalu. Atas capaian itu, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Republik Indonesia memberikan piagam penghargaan kepada Pemda Kabupaten Konawe.

Diketahui, Kabupaten Konawe memiliki Mega Industri di Kecamatan Morosi. Keberadaan Perusahaan Modal Asing (PMA) yaitu PT Virtue Dragon Nikel Industri (VDNI) PT Obsidian Stainless Steel (OSS)
telah memberikan kontribusi riil terhadap pembangunan daerah melalui pajak mereka.

Belum lagi kontribusi dari PT Sulawesi Cahaya Mineral (SCM) yang saat ini sedang melakukan operasi produksi di bidang pertambangan di Kecamatan Routa.

Dari sektor perkebunan, Kabupaten Konawe bisa dibilang merupakan lumbung kelapa sawit. Ribuan warga Konawe yang menggantungkan hidup di sektor ini. Sehingga sangat ironi ketika masih ada Desa dan Kelurahan yang masuk kategori miskin ekstrem sebagaimana yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui Menko PMK RI.

Indikator di atas tentu tidak relevan ketika ada 13 desa dan kelurahan di Konawe yang masuk kemiskinan ekstrem. Apalagi pemerintah pusat telah menggelontorkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ratusan miliar rupiah melalu Dana Desa (DD) tiap tahunnya.

Laporan: Jaspin