AMPUH Sultra Desak Aparat Hukum Segera Tindaki PT OSS Soal Dugaan Pencemaran Lingkungan
KENDARI – Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (AMPUH) Sulawesi Tenggara (Sultra), mendesak kepada aparat penegak hukum untuk segera tindaki PT Obsidian Stainlees Steel (OSS), soal dugaan pencemaran lingkungan dari polusi batu bara, yang menyerbu dua kecamatan yakni Kecamatan Motui dan Sawa di Konawe Utara (Konut), Sultra.
Akibat dari polusi debu batu bara tersebut, Ampuh Sultra akhirnya mengecam tindakan merusak lingkungan yang dilakukan PT OSS. Kecaman itu bukan tanpa alasan, berdasarkan dokumentasi foto dan video yang sebelumnya pernah diterbitkan Sultranews, nampak jelas dugaan pencemaran lingkungan baik pencemaran air, darat bahkan polusi udara yang diduga berasal dari pabrik PT OSS, yang diperkirakan telah lama terjadi sejak di Bulan Agustus 2020.
“Kami sangat mengecam aktivitas PT OSS ini. Mereka harus ditindak tegas, tidak bisa dibiarkan berlarut. Karena jelas dampaknya ke masyarakat yang terus-terusan menjadi korban pencemarannya,” ujar Hendro Nilopo, selaku Direktur AMPUH Sultra, Kamis (22/4/2021).
Dia juga mempertanyakan terkait penerbitan izin lingkungan melalui penyusunan dan penilaian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) kepada PT OSS.
Sebab, jika penerbitan izin lingkungan melalui tahapan sesuai dengan mekanisme PP 27 Tahun 2012, maka menurutnya ada kurang lebih 15 tahapan yang harus dipenuhi.
“Dengan adanya pencemaran lingkungan yang luar biasa ini, sangat wajar merasa skeptis dengan penerbitan izin lingkungan untuk PT OSS ini. Menurut kami, jika penerbitan izin lingkungannya sesuai dengan mekanisme yang ada, maka kemungkinan pencemarannya tidak akan sampai begitu parah,” umbarnya.
Lebib lanjut, dia menjelaskan, bagaimana mungkin perusahaan yang tidak memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) bisa melakukan penyusunan Amdal. Sedangkan dalam proses Amdal untuk peberbitan izin lingkungan ada tahapan penilaian Amdal, Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL).
“Kalau dari awal IPAL tidak ada, bagaimana bisa penilaian RKL dan RPL bisa dilanjutkan?” tanya Hendro.
“Kemudian bagaimana mungkin Amdal-nya bisa di proses tanpa RKL. Inilah yang membuat kami menduga bahwa PT OSS tidak mendapatkan izin lingkungan sesuai dengan mekanisme yang ada, dan itu harus di cabut jika memang izin lingkungannya ada,” tegas aktivis peduli hukum itu.
Hendro juga menyebutkan, tugas dan tanggung jawab perusahaan kawasan industri telah tertuang dalam pasal 9 Permen LH Nomor 03 Tahun 2010, yang menyebutkan tentang tugas yang diemban oleh penanggung jawab kawasan industri terkait pengolahan air limbah.
Menaati standar baku mutu air limbah yang tercantum didalam Peraturan Kementerian (Permen) Lingkungan Hidup melakukan pengelolaan air limbah agar air buangan yang dialirkan sudah memenuhi standar baku mutu yang berlaku.
Kemudian, tidak boleh melakukan pengenceran air limbah, termasuk mencampur air bekas pendingin ke dalam aliran buangan air limbah yang berasal dari IPAL terpusat milik kawasan industri, memantau parameter baku mutu air limbah, termasuk parameter PH dan COD yang dilakukan setiap hari.
“Dalam Permen LH Nomor 3 Tahun 2010 itu sudah jelas poin-poin mengenai tugas dan tanggung jawab bagi kawasan industri, kecuali PT OSS ini tidak punya pedoman atau aturan dalam melakukan kegiatan, maka wajar saja melakukan pencemaran seperti yang terjadi sekarang ini,” jelasnya.
“Negara sudah cukup bijak, beberapa aturan mengenai tugas dan tanggung jawab bagi perusahaan di kawasan industri untuj menjaga lingkungan sudah sangat eksplisit, maka dari itu, menurut kami sudah sangat tepat jika siapa pun yang melanggar harus di sanksi pidana,” sambung aktivis asal Konut itu.
Olehnya itu, Hendro berharap kepada pemerintah dan stakeholder lainnya agar mampu menindak PT OSS, agar pihak perusahaan bertanggung jawab terhadap pencemaran yang ditimbulkan.
Baik itu tanggung jawab kepada masyarakat terdampak yang saat ini merasakan derita atas dampak pencemaran yang diduga berasal dari perusahaan tersebut, maupun tanggung jawab sebagai perusahaan yang dinilai tidak menaati ketentuan perundang-undangan.
“Pertama, harus tanggung jawab kepada masyarakat yang terdampak dan mengalami kerugian, baik kerugian materil maupun non materil, setelah itu baru pertanggung jawaban pidana melalui proses hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” tukasnya.
Adapun ketentuan pidana bagi setiap orang yang apatis terhadap pencemaran lingkungan secara skeptis, tertuang dalam Undang-undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pada pasal 98 dinyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja yang mengakibatkan dilampauinya ambang baku mutu udara, air laut, air sungai, air danau, dan kerusakan lingkungan hidup dapat didenda minimal Rp3 miliar dan maksimal Rp10 miliar dan penjara minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun.
Laporan: Jaspin