Kontroversi Sekolah Tatap Muka, Cluster Covid-19 Mendera
OPINI – Covid-19 masih terus mengintai negeri zamrud khatulistiwa. Hingga delapan bulan berjalan, belum ada tanda-tanda kemusnahan virus ini. Berbagai macam kebijakan telah diturunkan. Alih-alih mengurangi jumlah korban, setiap hari virus corona berhasil memakan korban hingga ribuan. Kini, salah satu kebijakan yang perlu kita soroti adalah pembukaan sekolah tatap muka.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengizinkan pemerintah daerah untuk memutuskan pembukaan kegiatan belajar tatap muka, di seluruh zona risiko virus corona mulai Januari 2021, yaitu berlaku mulai semester genap tahun ajaran 2020/2021. Nadiem mengatakan keputusan pembukaan sekolah akan diberikan kepada tiga pihak, yakni pemerintah daerah, kantor wilayah (kanwil), dan orang tua melalui komite sekolah (cnnindonesia.com, 20/11/2020).
Tentunya kebijakan tatap muka ini menuai kontra. Sebagaimana disampaikan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Arist Merdeka Sirait, keputusan sekolah tatap muka saat ini belum tepat waktunya. Masih ada risiko tertular, apalagi mengingat penularan saat ini masih tinggi. Meskipun sudah ada protokol kesehatan, tetap tak ada jaminan semuanya aman. Apalagi untuk anak seusia SD, belum paham 100%. Menurut Sirait, keputusan ini cenderung terkesan memaksa dan lebih memilih mempertaruhkan risiko. Padahal, peran pemerintah di kondisi saat ini adalah memikirkan bagaimana cara memudahkan pembelajaran jarak jauh. Di mana metode ini masih dinilai paling aman. Termasuk memberi bantuan sarana pendukungnya. Seperti internet dan layanannya. (Tribunwow.com, 8/8/20).
Dengan persyaratan yang cukup ketat dalam penerapan 3M (Menjaga jarak, Memakai masker, Mencuci tangan), ternyata masih banyak kendala teknis yang dialami pihak sekolah sendiri. Penyediaan persiapan protokol kesehatan cukup menelan biaya. Meskipun pemerintah telah mengalokasikan dana untuk pemenuhan kebutuhan ini, kesulitan tetap saja terjadi.
Bagi sekolah yang memiliki halaman luas, medan sekolahnya tak bergedung tingkat mungkin bisa mudah melakukan. Namun, bagi sekolah yang gedung sekolahnya bertingkat, tentu sangat kesulitan dalam memenuhi protokol kesehatan. Seperti penyediaan tempat cuci tangan di setiap sisi. Belum lagi bagi sekolah yang jumlah muridnya ribuan, sedang jumlah gurunya tak terlalu banyak. Rasio perbandingan guru dan murid tidak memenuhi standar, sehingga guru pun kesulitan dalam mengontrol seluruh siswa saat sekolah tatap muka. Berdasarkan laporan yang diterima KPAI, kasus Covid-19 terjadi di berbagai sekolah dan pondok pesantren yang membuka sekolah.
Ada masalah lebih krusial lagi yang menimpa pihak sekolah, yang sudah atau akan melakukan proses belajar tatap muka. Selain anggaran yang dibutuhkan untuk menerapkan protokol kesehatan tidak ada, pemerintah juga tidak memiliki aturan jelas terkait pengawasan. Sekolah harus mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit untuk membeli berbagai peralatan kesehatan mulai dari thermo gun (pengukur suhu tubuh tembak), masker, cairan disinfektan, dan sabun cuci tangan.
Di masa normal saja, banyak sekolah keteteran memenuhi anggaran sarana dan prasarana sekolah, apalagi dengan adanya penambahan sarpras dalam penerapan protokol kesehatan ini. Wajar kalau banyak sekolah yang kebingungan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka di masa pandemi yang masih tidak menentu ini.
Adapun berhubungan dengan rencana pembelajaran tatap muka yang tengah diopinikan saat ini, sesungguhnya itu sangat riskan bagi kesehatan dan keselamatan anak didik dan pendidik, juga berbahaya terhadap keluarga yang memungkinkan terbentuknya klaster baru penyebaran Covid-19 karena penularannya saat ini tak terkendali.
Seharusnya pemerintah mengoptimalkan dulu upaya 3T (Tracing, Testing, dan Treatment) untuk memutus rantai penularan Covid-19 selain melakukan 3M. 3T yang dimaksud yaitu pemeriksaan dini (testing), pelacakan (tracing), dan perawatan (treatment). Pemeriksaan dini menjadi penting agar bisa mendapatkan perawatan dengan cepat. Tak hanya itu, dengan mengetahui lebih cepat, kita bisa menghindari potensi penularan ke orang lain. Lalu, pelacakan dilakukan pada kontak-kontak terdekat pasien positif Covid-19. Setelah diidentifikasi petugas kesehatan, kontak erat pasien harus melakukan isolasi atau mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Upaya 3M dan 3T selaras dengan upaya sistem Islam menangani wabah sejak awal sehingga penularannya bisa diminimalisir. Perintah Islam untuk menjaga jarak (social distancing) dan isolasi dari penyakit tercermin dari hadis Rasulullah Saw. Dari upaya 3M dan 3T yang optimal akan didapatkan mana daerah episentrum Covid-19 dan mana daerah yang minim kasus. Untuk daerah episentrum di mana masih banyak kasus Covid-19 seharusnya pembukaan sekolah (tatap muka) bisa ditunda dulu hingga kondisinya membaik/memungkinkan.
Sedangkan untuk daerah minim kasus Covid-19, sekolah bisa dibuka dengan syarat protokol kesehatan yang ketat.
Sistem Islam menempatkan keselamatan warganya adalah yang terpenting dan bersungguh-sungguh mengurus rakyatnya, sebagaimana hadis Rasulullah SAW., “Siapa yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum muslim, lalu dia tidak memedulikan kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan memedulikan kebutuhan dan kepentingannya (pada Hari Kiamat).” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Penulis : drg. Endartini Kusumastuti
(Praktisi Kesehatan Masyarakat Kota Kendari dan Anggota PDGI Cabang Kendari)