Pembebasan Tanah Bagi Kepentingan PSN, Imran Leru: Indegenous Peoples

waktu baca 3 menit
Imran Leru selaku Ketua Aliansi Masyarakat Asinua Mengugat (AMAM), saat berorasi di Kantor Badan Pertanahan Negara (BPN) dan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sultra di Kendari, Senin (22/8/2022). Foto: Ismail.

KENDARI – Rencana pembangunan proyek “Bendungan Pelosika” yang terletak di Kecamatan Asinua, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra), kini mulai muncul masalah baru. Salah satunya adalah sertifikat tanah yang tumpang tindih.

Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, didalamnya telah disampaikan bahwa tujuan bernegara yakni memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Esensialitas dari pernyataan itu, agar negara mampu memproteksi hak-hak masyaraaat.

Maka dari itu, Aliansi Masyarakat Asinua Mengugat (AMAM) melakukan demonstrasi di Kantor Badan Pertanahan Negara (BPN) dan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sultra di Kendari, Senin (22/8/2022).

Dalam orasinya, Imran Leru selaku Ketua AMAM, menuntut BPN Sultra agar bertanggung jawab terhadap penerbitan sertifikat tersebut.

Dikatakanya, selaku masyarakat di Kecamatan Asinua yang menjadi korban atas pembangunan proyek Bendungan Pelosika, sebagai masyarakat Indonesia yang beradap, sangat mendukung hal tersebut.

Akan Tetapi, Imran panggilan akrabnya, jika hak-hak akan masyarakat diabaikan, maka besar kemungkinan proyek tersebut dipastikan tidak berjalan mulus.

“Ingat, setiap usaha dalam pembebasan tanah bagi kepentingan Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Pelosika, senantiasa menghargai keberadaan masyarakat asli atau yang dikenal dengan istilah Indegenous Peoples,” kata Imran.

Imran kembali mengigatkan agar tidak bermain-main dalam penerbitan sertifikat yang kemudian dijadikan ladang untuk meraih keuntungan dari penderitaan masyarakat, utamanya para oknum yang tidak bertanggung jawab.

“Saya tegaskan jangan ada permainan, apalagi menyangkut penerbitan sertifikat. Kami sudah pegang data, bahwa ada oknum BPN bekerja sama dengan Pemerintah Kecamatan, Lurah/Desa yang mana kami menduga ikut terlibat dalam penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT),” Imran mengigatkan.

Selain itu, Imran juga beberkan tentang persolan status tanah masyarakat, yang mana tanah atau lahan masyarakat yang tadinya masih berstatus Areal Penggunaan Lain (APL), tiba-tiba sudah menjadi kawasan hutan.

Baca Juga :  Gemoynya Kendari Serentak Kembalikan Berkas Formulir di Tiga Parpol

“Ini juga lucu, pihak Kehutanan sepertinya diduga ikut bermain. Semenjak hadirnya isu pembangunan bendungan pelosika, semua berbondong-bondong melakukan kegiatan. Kalau boleh saya bilang melakukan pembodohan terhadap masyarakat, yang ujung-ujungnya ikut serta menikmati hasil dari ganti rugi atau ganti untung, kira-kira seperti itu,” bebernya.

Selanjutnya, Proyek Strategis Nasional (PSN) adalah sebuah program kesejahteraan masyarakat, bukan untuk menyengsarakan rakyat. Maka sikap publik terhadap agenda kesejahteraan adalah mendukung dan memberikan ruang seluas-luasnya bagi terwujudnya PSN tersebut.

“Kalau bendungan pelosika itu jadi terbangun, bayangkan saja kampung kami itu akan tenggelam. Bagaimana dengan nilai-nilai Historis dan Sosiologisnya? Apakah semata-mata hanya berbicara masalah uang karena ada namanya kompensasi? Lantas bagaimana cerita sejarah nenek moyang kami?,” teriak Imran.

Tak sampai distu, Imran yang dikenal vocal, lantas menjelaskan jika format legalisasi kepemilikan sertifikat, beberapa oknum penyelenggara negara diduga telah melakukan kegiatan improsedural dan bertentangan dengan hukum pada fase identifikasi pendataan kepemilikan atau yang dikenal dengan legalitas kepemilikan.

“Kami menduga ada beberapa oknum pejabat dengan sengaja dan sadar menanamkan bibit distorsi publik dengan cara membagikan tanah warisan yang bukan tupoksinya, melakukan penerbiten SKT dan Sertipikat yang improsedural dan tidak diakui sebagai bentuk kepastian hukum,” ujarnya.

Atas persoalan itu, Imran selaku ketua AMAM menyatakan sikap mendesek institusi terkait untuk segera mengembalikan hak atas tanah wakaf di lokasi pendirian Kantor Camat Asinua kepada ahli waris, yang mana diduga tanah tersebut sudah terbagi habis dibagi oleh oknum lurah/desa dengan dalih pemerintah yang berhak mengatur pambagian tanah tersebut.

Selanjutnya mendesak BPN Provinsi dan BPN Konawe, agar melakukan peninjauan kembali pencabutan/penghentian terhadap sertifikat yang diterbitkan yang tidak memenuhi ketentuan regulasi.

Baca Juga :  Pembentukan Panwascam di Pilkada 2024, Bawaslu Konawe Lakukan Dua Metode ini

Mendesak institusi hukum untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan penerbitan sertifikat pada areal kawasan hutan dan tahan masyarakat yang haknya diambil sepihak oleh oknum pemerintah kelurahan/desa ambondiaa dan oknum BPN Konawe.

Kemudian mendesak institusi hukum untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan dugaan gratifikasi dalam penerbitan sertifikat. Terakhir mendesak Balai Pemantapan Kawasan hutan (BPKh) untuk komitmen dan konsisten terhadap rekomendasi DPRD Konawe terkait refisi terbaru penetapan kawasan hutan.

Laporan: Jaspin