Gelar Musdatpus Ke-IV Sultra, Wabup Konawe: Leundo Tombepokoaso
Unaaha – Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra), kembali menjadi tuan rumah dalam kegiatan penyelenggaraan Musyawarah Adat Pusat (Musdatpus), ke-IV Tahun 2020, oleh Dewan Pengurus Pusat (DPP) Lembaga Adat Tolaki (LAT) Sulawesi Tenggara (Sultra), yang di gelar di Laikaaha Lakidende, Kecamatan Unaaha, Kabupaten Konawe, Kamis (13/2/2020).
Kegiatan Musdatpus itu mengangkat tema, “Inae Konasara Ie Pinesara, Inae Liasara Ie to Pinekasara” (Siapa yang menghargai adat dia akan dihormati, Siapa yang melanggar adat ia akan diberi sanksi). “Medulu, Mepokoaso, Mokora, Owose ronga Nunulai” Artinya (Bersama, Bersatu, Kuat, Besar dan Tidak Terputus)
Turut hadir dalam kegiatan Musdatpus, Kajari Konawe, Dandim Kendari, Bupati Konut, Bupati Koltim, Ketua DPRD Konsel, para Kepala OPD, dan para Ketua Adat se-Sultra.
Wakil Bupati Konawe Gusli Topan Sabara, S.T., M.M, dalam sambutanya memaknai kedua tema diatas sebagai wadah untuk bersatu padu sesama pemangku adat. Baik dari Adat Tolaki, Adat Jawa, Adat Bugis, Adat Bali, dan adat lainnya yang ada di Sultra ini.
“Keno onggo peeka ino wonuando i-wuta Konawe, harus ato mepokoaso. Dungguito tembono ingoni ato mepokoaso. Keno onggo lulondo rongga tutaanga ma leundo ato mepokoaso,”.
“Kalau ingin naik ini daerah di Konawe, harus kita bersatu. Sudah saatnya sekarang kita bersatu. Kalau ingin muncul kepermukaan, maka kita semua harus bersatu,” ucap Gusli Topan Sabara, dihadapan para pemangku adat se Sultra.
Ajakan ini dikemukakan Wabup Konawe secara lantang di hadapan Ketua DPP LAT Sultra, Mashyur Masie Abunawas (MMA), dan Wakil Gubernur Sultra H. Lukman Abunawas, serta para ketua adat Mokole lainya.
Gusli mengatakan dari 18 para doktor cendekiawan harus kita pahami bahwa kunci dari adat istiadat adalah ukhuwah.
“Teembe ato taonggo mbesisala lau-lau, karena persaudaraando laito mondarambu opu,”
“Bagaimana kita mau tidak berselisih paham, karena hubungan persaudaraan diantara kita mulai terkikis,” ucapnya lagi.
Gusli menceritakan sejarah perjalanan adat Tolaki jika ditinjau dari segi ilmiah bahwa di Konawe terbagi empat massa, yakni Dinasti Wekoila pada tahun 900 an sampai tahun 1500 an, atau disebut dengan Monarki Absolut. Kemudian pada tahun 1500 an sampai tahun 1905 Dinasti Tebawo atau disebut dengan Monarki Demokratis. Selanjutnya tahun 1917 hingga tahun 1958 Monarki Peralihan, atau disebut dengan Monarki Sao-Sao. Yang terakhir tahun 1958 hingga saat ini disebut dengan Demokrasi Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Jadi Konawe itu, dari masa kemasa dari tahun 19500 an, sudah mulai mengenal sistem demokrasi. Akan tetapi, masih dalam bingkai Monarki Demokratis. Kenapa demikian? Pada tahun 1950 an raja yang paling termasyur di tanah Konawe yaitu Sanggia Inato, sudah meletakkan dasar dan sistem pemerintahan yang disebut dengan Siwole Mbatohu dan Pitu Dula Batu,” bebernya.
Siwole Mbatohu dan Pitu Dula Batu, lanjut dia, dalam sistem pemerintahannya “sistem monarki demokratis” yaitu pemberian otonomi seluas-luasnya kepada empat wilayah besar yakni wilayah disebelah Timur, Barat, Selatan dan Utara.
“Tambo losoano oleo sebelah timur dipimpin oleh Sapati Ranomeeto. Tambo tepiliano oleo dipimpin oleh Sabandara Latoma. Kemudian Barata I Moeri dipimpin oleh Inowa. Barata I Hana dipimpin oleh Pongawa I Una,”
“Gerbang timur di Ranomeeto, gerbang barat di Tongauna, Barata I hana di Anggaberi dan Barata I moeri di Asaki Lambuya, masing-masing dipimpin seorang Raja bawahan,” jelasnya.
Dari cerita perjalanan sejarah adat tolaki, mantan Ketua DPRD Konawe itu berharap, kegaitan musyawarah adat ini adalah momentum untuk membangkitkan budaya adat Tolaki umumnya di Sultra, dan khususnya di Konawe.
“Saya berkali-kaki ingatkan, bahwa seorang budayawan besar dari Timur Tengah mengatakan, orang yang tidak mengenal sejarahnya dan masalalunya, maka dia tidak akan mengenal masa sekarang. Dan orang yang tidak mengenal masa sekarang, pasti dia tidak akan mampu membangun masa depan,” tuturnya.
Sementara itu Gubernur Sultra H. Lukman Abunawas mengatakan, Adat Tolaki yang dikenal dengan semboyan “Inae Konasara Ie Pinesara, Inae Liasara Ie to Pinekasara” (Siapa yang menghargai adat dia akan dihormati, Siapa yang melanggar adat ia akan diberi sanksi), maka tidak mengenal baik dia seorang pemimpin ataupun pejabat, harus patuh dan taat pada adat.
Ia menjelaskan, dalam adat Tolaki dikenal ada 3 gulungan rotan pada Kalosara. Gulungan pertama disebut dengan Agama. Gulungan kedua disebut dengan Pemerintah, dan gulungan ketiga disebut dengan adat.
Sehingga, lanjut dia, gulungan ketiganya itu saling berkaitan satu sama lain yang tak bisa terpisahkan antara agama, pemerintah, dan adat.
“Kalosara merupakan simbol persatuan dari suku Tolaki di Sultra. Simbol kebesaran yang wajib dijunjung tinggi oleh masyarakat Sultra pada umumnya. Sebab mau tidak mau, Sultra merupakan nenek moyang dari pemangku adat Tolaki dibesarkan oleh para pendahulu kita yaitu raja Lakidende di Kabupaten Konawe ini, yang merupakan pejuang yang telah gugur melawan penjajahan Belanda,” ungkapnya.
Laporan: Jaspin