Fokus Arah Pengentasan Kemiskinan Ekstrem di Sultra

waktu baca 6 menit
Nurul Puspita Sari, SST. Statistisi Ahli Muda BPS Kabupaten Buton

Penulis : Nurul Puspita Sari, SST.  Statistisi Ahli Muda BPS Kabupaten Buton

Sultranews.co.id – Hingga detik ini, persoalan kemiskinan selalu menjadi permasalahan yang kompleks dan sulit untuk dipecahkan, hal ini dikarenakan tidak hanya berkaitan dengan permasalahan tingkat pendapatan dan ekonomi saja tetapi kemiskinan juga berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan, kesehatan serta ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam pembangunan manusia.

Tidak meratanya distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan. Membiarkan masalah tersebut berlarut-larut akan semakin memperkeruh keadaan, dan tidak jarang dapat menimbulkan konsekuensi negatif terhadap kondisi sosial dan politik.

Masalah kesenjangan pendapatan dan kemiskinan tidak hanya dihadapi oleh negara sedang berkembang, namun negara maju sekalipun tidak terlepas dari permasalahan ini. Perbedaannya terletak pada proporsi atau besar kecilnya tingkat kesenjangan dan angka kemiskinan yang terjadi, serta tingkat kesulitan mengatasinya. Di dalam sebuah piramida kemiskinan, terdapat kelompok masyarakat yang masuk ke dalam golongan kelompok kemiskinan ekstrem.

Jika kemiskinan diibaratkan sebagai sepanci nasi, kelompok masyarakat yang berada dalam kategori masyarakat miskin ekstrem ini seperti halnya kerak nasi yang jumlahnya sedikit tetapi membutuhkan usaha ekstra untuk mengangkat dan mengentaskannya.

Berdasarkan arahan Presiden dalam Rapat Terbatas tanggal 21 Juni 2021 tentang Strategi Penanggulangan Kemiskinan Kronis,  pengentasan kemiskinan dilakukan secara terkonsolidasi, terintegrasi dan tepat sasaran melalui kolaborasi intervensi, sehingga kemiskinan ekstrem dapat mencapai tingkat nol persen pada 2024. Lima kabupaten di Sulawesi Tenggara masuk kedalam kabupaten/Kota prioritas penanggulangan kemiskinan ektrem pada tahun 2022 diantaranya yaitu Kabupaten Konawe, Wakatobi, Konawe Utara, Kolaka Utara dan Kolaka Timur.

Data yang digunakan pada analisis prioritas penanggulanan kemiskinan kronis adalah data yang bersumber dari data Susenas Tahun 2020 dimana responden didata langsung ke rumah tangga sampel di seluruh kabupaten/kota se Indonesia menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Tingkat kemiskinan ekstrem dihitung menggunakan garis kemiskinan setara 1,9 $PPP (World Bank). Sementara tingkat kemiskinan nasional dihitung menggunakan garis kemiskinan setara 2,5 $PPP.

Berdasarkan laporan kondisi kesejahteraan sosial provinsi Sulawesi Tenggara dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dari kelima kabupaten/kota yang masuk prioritas penanggulangan kemiskinan kronis tahun 2024, Kabupaten Wakatobi merupakan kabupaten yang memiliki persentase kemiskinan ekstrem tertinggi yaitu sebesar 8,76 persen, selanjutnya Konawe Utara dengan persentase tingkat kemiskinan sebesar 7,98 persen , Kabupaten Kolaka Timur pada urutan ketiga dengan persentase kemiskinan sebesar 6,74 persen, Kolaka Utara sebesar 6,53 persen dan terakhir pada urutan kelima yaitu kabupaten konawe sebesar 5,85 persen.

Namun, jika dilihat berdasarkan jumlah penduduk miskin ekstrem yang harus dientaskan kemiskinannya paling banyak justru ada di kabupaten konawe dengan jumlah penduduk miskin ekstrem sebesar 15.150 Jiwa. Kemudian Kolaka Timur sebanyak 13.180 ribu jiwa, Kolaka Utara sebanyak 9.990 Jiwa, Wakatobi sebanyak 8.420 Jiwa dan terakhir Konawe Utara sebanyak 5.180 Jiwa. Sementara itu, secara agregat di provinsi Sulawesi Tenggara, kemiskinan ekstrem yang harus dientaskan adalah sebesar 4,8 persen atau sekitar 131.590 penduduk yang berada pada kategori kemiskinan ekstrem.

Ada banyak aspek yang perlu diperhatikan dalam program pengentasan kemiskinan ekstrem di provinsi Sulawesi Tenggara, aspek tersebut dapat kita bagi menjadi dua yaitu Aspek Fiskal dan Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat. Berdasarkan hasil analisis APBD di Sulawesi Tenggara, Hampir seluruh kabupaten/kota dengan persentase penduduk miskin tinggi di Sulawesi Tenggara memiliki derajat otonomi fiskal yang rendah. Derajat otonomi fiskal dinyatakan oleh porsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di dalam keseluruhan pendapatan daerah Artinya semakin rendah derajat otonomi fiskal suatu daerah semakin kecil pula porsi PAD dalam keseluruhan pendapatan suatu daerah.

Hal ini berimplikasi pada semakin tingginya ketergantungan suatu daerah terhadap transfer dari pusat. Dari kelima kabupaten yang menjadi prioritas di Sulawesi Tenggara empat diantara kabupaten masih masuk pada kategori  kuadran 4 yaitu kabupaten dengan persentase penduduk miskin ekstrem tinggi (di atas rata-rata) serta memiliki derajat otonomi fiskal rendah (di bawah rata-rata). Hanya kabupaten Konawe Utara yang masuk kategori kuadran 3 yaitu kabupaten dengan persentase penduduk miskin ekstrem tinggi (di atas rata-rata) serta memiliki derajat otonomi fiskal tinggi (di atas rata-rata).

Kemudian jika dilihat dari aspek sosial ekonomi masyarakat pada kelima kabupaten yang menjadi prioritas pengentasan kemiskinan ekstrem di Sulawesi Tenggara, dibidang pendidikan terdapat dua indikator utama yang perlu mendapat perhatian lebih mengingat perbedaan capaian yang sangat besar dibandingkan dengan capaian nasional, yaitu Angka Putus Sekolah usia 16-18 Tahun dan Indikator Pendidikan Kepala Rumah Tangga, hal-hal ini perlu segera ditangani dengan serius.

Secara agregat di Sulawesi Tenggara Angka Putus sekolah pada usia 16-18 tahun mencapai 39.23 persen dan persentase kepala rumah tangga berpendidikan rendah mencapai 28,13 persen diatas rata-rata nasional. Di bidang ketenagakerjaan, rata-rata status pekerjaan penduduk miskin ekstrem usia 15 tahun ke atas berprofesi di bidang pertanian. Kolaka Utara memiliki persentase penduduk miskin ekstrem pada penduduk di bidang pertanian yaitu sebesar 89,52 persen. Disusul dengan kolaka timur sebesar 78,45 persen dan Konawe Utara sebesar 55,57 persen. Konawe sebesar 48,11 persen dan wakatobi sebesar 27,2 persen.

Di bidang kesehatan, Sulawesi tenggara sudah cukup baik dalam penanganan Prevalensi balita kerdil (stunting) hal ini dapat dilihat dari  menurun prevalensi balita stunsting di tahun 2018 menjadi 28,8 dibandingkan 2013 sebesar 42,6 (Data Riskesdas). Adapun yang perlu ditingkatkan lagi adalah mengenai akses ke fasilitas kesehatan khususnya ke rumah sakit, dan rumah bersalin yang persentasenya masih sebesar 60,86 persen untuk kemudahan akses ke rumah sakit dan 32,05 persen untuk akses ke rumah sakit bersalin dibawah standar nasional yang sebesar 71,57 persen dan 40,88 persen.

Fokus penanggulangan kemiskinan kronis di Sulwesi Tenggara tentunya memerlukan sumbangsi upaya dari seluruh pihak, baik dari lapisan atas pemerintah daerah sebagai perencana dan pengambil kebijakan, hingga ke lapisan bawah pada individu masyarakat masing-masing.

Ibaratkan memanah suatu titik bernama kemiskinan ekstrem, langkah awal  yang perlu dilakukan adalah melakukan pembidikan sasaran dengan menggunakan data yang tepat sehingga akurasi program dapat mencapai target sesuai sasaran. Perlu dilakukan minimalisasi eror dengan akurasi dan sinkronisasi data yang dilakukan secara kolaboratif multisektor yang melibatkan K/L teknis, pemda , pemerintah desa , dan pihak lainnya.

Setelah sasaran dibidik, tentu perlu dipersiapkan busur panah terbaik melalui efektifitas perencanaan program dan penganggaran daerah. Pada tahap ini,  perlu juga dilakukan analisis mengenai ketepatan antara perencanaan dan sasaran target yang telah diturunkan melalui program bantuan pemerintah daerah untuk mengetahui seberapa efektif program-program pemerintah yang telah dijalankan.

Dan yang terakhir yang perlu dilakukan adalah penguatan kolaborasi/kerjasama antara pemerintah dan non pemerintah misalnya dari pelaku sektor usaha, UMKM dan penyedia jasa lainnya sehingga dapat secara optimal menyerap tenaga kerja pada lapisan penduduk ekstrem sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan pemberdayaan masyrakat dan keluar dari lingkaran kemiskinan ekstrem.

SN